Bonus demografi ialah fenomena dimana dengan kondisi usia produktif (15-64 Tahun) lebih banyak dari usia non produktif (0-14 Tahun). Artinya usia yang siap kerja untuk mendukung kemajuan perekonomian Indonesia sangat banyak atau melimpah. Namun fenomena ini jika tidak dimanfaatkan dengan baik akan sia-sia. Untuk mendukung manfaat bonus demorafi maka perlu adanya faktor-faltor penjamin mutu SDM, seperti pendidikan.
Pendidikan di Indonesia sangat penting untuk menunjang keberhasilan dari manfaat bonus demografi, baik pendidikan formal dan pendidikan non formal. Pendidikan formal ialah pendidikan yang telah diprogram wajib oleh dari pemerintah, seperti SD-SMP-SMA/SMK hingga Perguruan Tinggi, sedangkan pendidikan non formal ialah pendidikan yang menujang kemajuan skill yang tidak diperoleh secara maksimal di pendidikan formal.
Keterampilan
vokasi yang diperoleh dari bangku sekolah, lulusan SMK diharapkan mempunyai
kemampuan yang lebih dibanding lulusan SMA. Harapan tersebut ternyata tidak
terlihat di lapangan sebagaimana yang disampaikan oleh pelaku usaha. Sekitar 26% pelaku usaha menilai lulusan SMA/SMK berkualitas rendah dan tidak ada
perbedaan kualitas secara signifikan antara lulusan SMA dan SMK. Kurang dari
10% pelaku usaha yang menilai lulusan SMA/SMA berkualitas sangat baik.
Dari penjelasan tersebut dapat dinilai bahwasanya memang kualitas pendidikan sangat berperan penting dalam peraihan manfaat dari bonus demografi. Namun pada kenyataan di lapangan saat ini kondisi di Indonesia mayoritas masih terbilang jauh dari pendidikan yang berkualitas, Hal ini dibuktikan dengan contoh, pada tahun 2010, masih >50% lulusan SMA/MA/SMK bekerja di unskilled jobs dan >30% di semi-skilled jobs. Untuk lulusan pendidikan tinggi, masih ada
sekitar 10% dan 40%, secara berturut-turut, yang bekerja di unskilled dan semi-skilled jobs. Hal tersebut memunculkan berbagai pendapat bahwasannya hal yang membuat lulusan tidak diterima di dunia kerja sesuai ekspetasi karena kualitas real yang ada tidak sesuai dengan yang diharapkan. Rendahnya kualitas tenaga kerja, yang antara lain diukur dengan jenjang pendidikan tertinggi yang ditamatkan, juga masih mengemuka. Dari sekitar 114 juta penduduk usia 15 tahun keatas yang bekerja (data 2013), sekitar 54,7 juta orang (47,9 persen) hanya berpendidikan SD/MI atau kurang, dan hanya 34,3 persen yang lulus sekolah menengah atau perguruan tinggi.
Isu rendahnya kualitas angkatan
kerja masih akan tetap mengemuka dalam kurun waktu lima tahun ke depan. Hal ini
ditunjukkan oleh tingginya potensi tenaga kerja usia muda yang berpendidikan
rendah. Pada tahun 2012, dari sekitar 62 juta penduduk usia 15-29 tahun yang
sudah tidak bersekolah, ada sekitar 30 persennya yang hanya lulus SD/MI atau
kurang. Selain itu, sampai saat ini masih banyak anak-anak yang putus sekolah
dan tidak menyelesaikan pendidikan sembilan tahun dan juga banyak lulusan SMP/MTs/sederajat yang tidak melanjutkan ke
jenjang yang lebih tinggi. Sebagai gambaran, pada tahun 2012 terdapat 1,36 juta
anak usia 13-15 tahun yang tidak bersekolah dan pada tahun 2015 mereka akan
menjadi bagian dari angkatan kerja berpendidikan rendah. Keadaan
tersebut tentu saja tidak cukup kondusif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi
Indonesia, yang sangat membutuhkan tenaga kerja yang berkualitas dan bekerja
sesuai dengan tingkat kompetensinya. Peningkatan kualitas tenaga kerja sangat
dibutuhkan terutama karena tuntutan standar kualitas produksi yang semakin
tinggi, lingkungan kerja yang semakin kompetitif, dan cepatnya perkembangan
teknologi baik yang berasal dari luar negeri maupun yang dikembangkan di dalam
negeri.
Permasalahan lain yakni perusahaan-perusahaan juga tidak banyak yang memberikan pelatihan kepada pegawainya.Hanya sekitar
5 persen tenaga kerja yang melaporkan pernah mendapat pelatihan. Hanya sektor
keuangan dan jasa publik yang memberikan pelatihan cukup banyak bagi
karyawannya (masing-masing sekitar 17 persen). Survei juga menemukan bahwa
perusahaan kecil dan menengah jarang memberikan pelatihan (on-the-job training) bagi karyawannya.12 Hanya sekitar 3 persen
perusahaan kecil (dengan karyawan 5-19 orang) dan hanya sekitar 13 persen
perusahaan menengah (dengan karyawan 20-99 orang) yang memberikan pelatihan
bagi karyawannya. Meskipun hampir 40 persen perusahaannbesar memberikan
pelatihan bagi karyawan, angka tersebut masih lebih rendah dari yang diberikan
oleh perusahaan-perusahaan besar di negara-negara lain, yang angka rata-ratanya
sudah mencapai 65 persen.
Pendidikan non formal berperan penting dalam penyediaan pelatihan keterampilan kerja melalui lembaga kursus, namun kualitasnya dinilai jauh lebih rendah dibanding lembaga pendidikan formal. Meskipun demikian, lulusan lembaga pendidikan non-formal dinilai lebih baik dalam hal relevansi dan adaptabilitasnya dengan kebutuhan lapangan kerja. Berbagai layanan pendidikan dan pelatihan, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta, dinilai kurang mendukung kebutuhan pembangunan daerah.
Dengan demikian pendidikan bagi orang
dewasa semakin menjadi tuntutan untuk membantu mereka mendapatkan pengetahuan
dan keterampilan baik teknis maupun profesional yang dibutuhkan dalam
meningkatkan kualitas hidup sesuai dengan perubahan lingkungan yang terjadi.