Monday, May 11, 2020

Essay Bonus Demografi

Bonus demografi ialah fenomena dimana dengan kondisi usia produktif (15-64 Tahun) lebih banyak dari usia non produktif (0-14 Tahun). Artinya usia yang siap kerja untuk mendukung kemajuan perekonomian Indonesia sangat banyak atau melimpah. Namun fenomena ini jika tidak dimanfaatkan dengan baik akan sia-sia. Untuk mendukung manfaat bonus demorafi maka perlu adanya faktor-faltor penjamin mutu SDM, seperti pendidikan.
Usia Produktif: Ekspektasi, Harapan, dan Kenyataan di Dunia Kerja ...

Pendidikan di Indonesia sangat penting untuk menunjang keberhasilan dari manfaat bonus demografi, baik pendidikan formal dan pendidikan non formal. Pendidikan formal ialah pendidikan yang telah diprogram wajib oleh dari pemerintah, seperti SD-SMP-SMA/SMK hingga Perguruan Tinggi, sedangkan pendidikan non formal ialah pendidikan yang menujang kemajuan skill yang tidak diperoleh secara maksimal di pendidikan formal.

Keterampilan vokasi yang diperoleh dari bangku sekolah, lulusan SMK diharapkan mempunyai kemampuan yang lebih dibanding lulusan SMA. Harapan tersebut ternyata tidak terlihat di lapangan sebagaimana yang disampaikan oleh pelaku usaha. Sekitar 26% pelaku usaha menilai lulusan SMA/SMK berkualitas rendah dan tidak ada perbedaan kualitas secara signifikan antara lulusan SMA dan SMK. Kurang dari 10% pelaku usaha yang menilai lulusan SMA/SMA berkualitas sangat baik. 


Dari penjelasan tersebut dapat dinilai bahwasanya memang kualitas pendidikan sangat berperan penting dalam peraihan manfaat dari bonus demografi. Namun pada kenyataan di lapangan saat ini kondisi di Indonesia mayoritas masih terbilang jauh dari pendidikan yang berkualitas, Hal ini dibuktikan dengan contoh, pada tahun 2010, masih >50% lulusan SMA/MA/SMK bekerja di unskilled jobs dan >30% di semi-skilled jobs. Untuk lulusan pendidikan tinggi, masih ada sekitar 10% dan 40%, secara berturut-turut, yang bekerja di unskilled dan semi-skilled jobs. Hal tersebut memunculkan berbagai pendapat bahwasannya hal yang membuat lulusan tidak diterima di dunia kerja sesuai ekspetasi karena kualitas real yang ada tidak sesuai dengan yang diharapkan. Rendahnya kualitas tenaga kerja, yang antara lain diukur dengan jenjang pendidikan tertinggi yang ditamatkan, juga masih mengemuka. Dari sekitar 114 juta penduduk usia 15 tahun keatas yang bekerja (data 2013), sekitar 54,7 juta orang (47,9 persen) hanya berpendidikan SD/MI atau kurang, dan hanya 34,3 persen yang lulus sekolah menengah atau perguruan tinggi.

Isu rendahnya kualitas angkatan kerja masih akan tetap mengemuka dalam kurun waktu lima tahun ke depan. Hal ini ditunjukkan oleh tingginya potensi tenaga kerja usia muda yang berpendidikan rendah. Pada tahun 2012, dari sekitar 62 juta penduduk usia 15-29 tahun yang sudah tidak bersekolah, ada sekitar 30 persennya yang hanya lulus SD/MI atau kurang. Selain itu, sampai saat ini masih banyak anak-anak yang putus sekolah dan tidak menyelesaikan pendidikan sembilan tahun dan juga banyak lulusan SMP/MTs/sederajat yang tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Sebagai gambaran, pada tahun 2012 terdapat 1,36 juta anak usia 13-15 tahun yang tidak bersekolah dan pada tahun 2015 mereka akan menjadi bagian dari angkatan kerja berpendidikan rendah. Keadaan tersebut tentu saja tidak cukup kondusif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia, yang sangat membutuhkan tenaga kerja yang berkualitas dan bekerja sesuai dengan tingkat kompetensinya. Peningkatan kualitas tenaga kerja sangat dibutuhkan terutama karena tuntutan standar kualitas produksi yang semakin tinggi, lingkungan kerja yang semakin kompetitif, dan cepatnya perkembangan teknologi baik yang berasal dari luar negeri maupun yang dikembangkan di dalam negeri.

Permasalahan lain yakni perusahaan-perusahaan juga tidak banyak yang memberikan pelatihan kepada pegawainya.Hanya sekitar 5 persen tenaga kerja yang melaporkan pernah mendapat pelatihan. Hanya sektor keuangan dan jasa publik yang memberikan pelatihan cukup banyak bagi karyawannya (masing-masing sekitar 17 persen). Survei juga menemukan bahwa perusahaan kecil dan menengah jarang memberikan pelatihan (on-the-job training) bagi karyawannya.12 Hanya sekitar 3 persen perusahaan kecil (dengan karyawan 5-19 orang) dan hanya sekitar 13 persen perusahaan menengah (dengan karyawan 20-99 orang) yang memberikan pelatihan bagi karyawannya. Meskipun hampir 40 persen perusahaannbesar memberikan pelatihan bagi karyawan, angka tersebut masih lebih rendah dari yang diberikan oleh perusahaan-perusahaan besar di negara-negara lain, yang angka rata-ratanya sudah mencapai 65 persen.

Pendidikan non formal berperan penting dalam penyediaan pelatihan keterampilan kerja melalui lembaga kursus, namun kualitasnya dinilai jauh lebih rendah dibanding lembaga pendidikan formal. Meskipun demikian, lulusan lembaga pendidikan non-formal dinilai lebih baik dalam hal relevansi dan adaptabilitasnya dengan kebutuhan lapangan kerja. Berbagai layanan pendidikan dan pelatihan, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta, dinilai kurang mendukung kebutuhan pembangunan daerah.

Dengan demikian pendidikan bagi orang dewasa semakin menjadi tuntutan untuk membantu mereka mendapatkan pengetahuan dan keterampilan baik teknis maupun profesional yang dibutuhkan dalam meningkatkan kualitas hidup sesuai dengan perubahan lingkungan yang terjadi.
Siapkan Mental "Driver" Untuk Songsong Bonus Demografi Halaman 1 ...

No comments:

Post a Comment

MODUL AJAR KONSENTRASI KEAHLIAN MANAJEMEN PERKANTORAN XI